Sunday, May 23, 2010

Nasihat

Setelah dia mandi, masih dalam balutan handuk, aku memeluknya dalam pangkuanku, kebiasaannya jika kedinginan setelah mandi. Kuambil kesempatan ini untuk berbicara dengannya, setelah pertengkaran hebatnya dengan mamanya sore tadi.
"Arum, kamu nggak boleh lagi melawan mama. Kamu harus bicara dengan baik sama Mama. Mama itu sudah susah payah mengurus kita, jadi dia patut kita sayangi."
"Papa juga sayang sama mama karena mama yang melahirkan dan mengurus Arum sampai besar dan pintar. Tapi bagi papa, Arum tetap kesayangan papa nomer satu."
"Arum tau apa yang papa takutkan?" Dia menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
"Papa takut kalau papa cepat meninggal. Papa takut nggak bisa menemani Arum sampe Arum besar" Airmataku pecah bersamaan dengan pecahnya airmatanya. Pelukannya tambah erat, seolah itu juga ketakutannya yang terbesar.
"Papa takut, kalau papa cepat meninggal, Arum tetap nggak bisa akur sama mama. Siapa nanti yang mengurus Arum?" Airmatanya tambah deras mengalir.
"Papa juga maunya mengurus Arum tiap hari, tapi papa harus kerja, itu juga buat Arum dan Mama."
"Janji ya sama Papa. Arum nggak boleh melawan mama lagi." Kekerasan hatinya mendorong dia tetap menggelengkan kepalanya. Walaupun aku tau, dia mau berjanji, setidaknya, mengurangi.
Lalu aku ungkapkan, walau dia keras kepala, aku tetap bangga padanya. Kuceritakan juga bagaimana dulu mama mengurus dia dari bayi.
Kujelaskan tentang konsep adil, karena dia cemburu, merasa aku lebih sayang sama mama daripada dia.
Kuakhiri nasihat panjangku dengan mengulangi, bahwa dialah kesayanganku yang nomer satu.
Ya Allah, panjangkanlah umur kami dalam keberkahan, kerukunan dan kesehatan. Amin.

No comments:

Post a Comment