Saturday, November 21, 2009

Surat

Juni 1999
Aku ambil semua surat-surat yang tersimpan di kotak suratku yang terbuat dari stick es krim. Tinggal 1 minggu lagi aku di kost-kost-an ini, aku harus mulai membereskan barang-barangku. Aku sudah putuskan, hanya sebagian kecil saja barang yang akan kubawa pulang kampung. Pulang dengan kapal laut memaksaku meminimalkan bawaanku.
Dengan sedih, terpaksa kutinggalkan sebagian diktat dan catatan kuliahku. Aku hanya membawa beberapa diktat dan tugas-tugas penting. Kaset Madonna "OST Dick Tracy" kuwariskan ke Mimi. Kasur lipat merah kuberikan kepada Jefry, teman kost-ku asal Ambon. Dan surat surat ini tidak termasuk yang ingin kubawa.
Bukan karena surat-surat itu tidak penting, bukan karena terlalu banyak, tapi karena kenangan yang melekat pada surat itu yang membebaniku. Surat-surat yang dikirimkan oleh seseorang yang tinggalnya kurang dari 5 kilometer dari kostku, tapi karena kerahasiaan hubungan kami, mengharuskan surat itu melewati pak pos. Setiap si pengirim memasukan melalui kantor pos, dalam bayanganku, pasti petugas pos-nya heran. Karena aku pun merasakan, setiap mengirimkan balasannya lewat Kilat Khusus, petugasnya berubah air mukanya, karena alamatnya kurang dari 2 kilometer dari kantor pos itu.
Kubawa semua surat itu kehalaman depan kost-ku. Kubakar pertama, salah satu surat yang terlama. Sempat kubaca sekilas isinya, yang mendorongku untuk membaca sekilas semua surat sebelum kubakar. Aku berdoa, kepedihanku ikut terbakar bersama semua surat itu. Kepedihan karena pilihan yang dia ambil. Kepedihan karena pengalaman pertamaku dengan wanita tidak berakhir manis. Dan kepedihan karena aku merasa bodoh, telah mengkhianati salah satu teman terbaikku.

Friday, November 20, 2009

2012

Aku sudah nonton film 2012, dan aku yakin iman dan akhlakku tak berubah sedikit pun. Walau aku tonton film itu 2012 kali lagi, tak akan merubah keimananku sedikit pun. Tak juga aku merasa, sedikit pun, film ini menyinggung agamaku.
Sebelum nonton, aku sudah bisa menebak seperti apa filmnya. Kebetulan aku pernah nonton film-film Roland Emerich sebelumnya, dan perkiraanku tidak meleset.
Film ini sebenarnya tidak layak sama sekali untuk jadi kontroversi. Ceritanya sangat standar, cenderung konyol. Apalagi di endingnya ternyata benua afrika tidak ikut hancur, kenapa nggak dari awal ke Afrika aja daripada susah payah membangun bahtera di pegunungan himalaya.Spesial efeknya pun tidak istimewa untuk ukuran hollywood. Cuman heboh aja, karena yang "dihancurkan" bangunan-bangunan ternama. Tapi Roland cukup bijaksana (atau takut) untuk tidak "menghancurkan" Kabbah. Aku yakin, film ini tidak akan memenangkan Oscar untuk Spesial Effect-nya.Jadi, buat apa diributkan? Lebih baik kita tonton aja, kalau mau. Hibur diri kita dengan ketegangan yang disajikannya.
Setiap aku nonton film, aku berusaha untuk mengambil pelajaran atau hikmah dari film itu, sekecil apapun itu. Dan aku setuju dengan status salah satu temanku di fesbuk, dari film ini kita bisa belajar untuk berusaha sampai titik akhir, seberapa pun mustahilnya usaha itu.

Friday, November 13, 2009

21 Mei 2002

21 Mei 2002

Dokter Tengku masuk ke ruang bersalin. Wajahnya yang ramah dan ganteng (menurut istriku), tersenyum kepada aku dan istriku, memberi rasa tenang untuk kami yang baru pertama kali menghadapi kelahiran anak kami. Lalu dia memeriksa sekali lagi bukaan istriku.
"Masih belum...." katanya sambil tersenyum lagi. "Ngeden lagi, Bu." katanya lagi.
Istriku sudah mulai kepayahan, tangannya terus memegang leher kausku. Aku terus menenangkannya dan mendukungnya.
"Sabar sayang, coba lagi ya..." kataku. Dia cuman trus mengerang menahan sakit. Dan tiba-tiba kulihat matanya terpejam dan dia menjadi tenang, pingsan. Aku langsung menepuk-nepuk pipinya, membangunkan. Karena setahuku, itu bukan hal bagus. Setelah beberapa tepukan, dia sadar lagi. Beberapa bidan dan perawat yang ada disitu terus mengecek kondisi istriku. Sementara, alat yang mengecek suara jantung sang bayi, masih terus berbunyi. Aku jadi ikut waspada.
Istriku kembali mengerang, menahan rasa sakit. Dia memang nggak gampang menahan sakit dan sering pingsan.
"Masih belum bu, coba lagi, tahan ya.." bidan yang membantu dokter kembali mengecek.
Setelah beberapa kali mengerang, istriku pingsan lagi. Kembali aku berusaha menyadarkannya, dan berhasil. Dokter Tengku, kulihat dari wajahnya, memutuskan untuk memulai saja proses kelahiran. Mungkin jika istriku terus pingsan, bisa berakibat tidak baik. Dia langsung bersedia dia depan meja bersalin.
"Ayo bu, coba lagi." katanya.
Istriku mencoba mengeden lagi, dan aku mendengar suara gunting memotong jalan lahirnya. Aku tidak melihatnya, tapi dari suaranya aku tau itu suara daging yang digunting. Detik itulah aku hampir nggak kuat, tapi kucoba tahan. Karena sebelum masuk, dokter Tengku sudah memperingatkan.
"Kuat nggak pak lihat darah? Kalau nggak, lebih baik diluar aja. Daripada nanti bapak pingsan, kasian perawatnya, sudah ngurus ibunya, masak harus ngurus orang pingsan juga."
"Kuat dok." aku meyakinkan dokter Tengku. Walau sebenarnya aku belum pernah melihat orang melahirkan, tapi aku tau aku nggak takut lihat darah, dan terutama, aku tidak mau melewatkan kesempatan menemani istriku melahirkan, kesempatan yang nggak semua suami bisa dapatkan. Tapi tetap saja, suara daging digunting itu, seolah mengiris perasaanku. Nggak lama setelah itu, dari suaranya, aku tau kepala anakku mulai keluar. Dan setelah satu dorongan lagi, keluarlah anakku. Waktu diangkat dengan terbalik oleh perawat, saat itulah aku pertama kali melihat anakku. Masih berlumuran darah, kulihat seorang anak yang cantik, tidak terlalu gemuk, tidak juga terlalu kecil. Sempat kuperhatikan matanya yang agak sipit dan jenis kelaminnya perempuan. Lalu perawat itu membawa anakku keluar ruangan bersalin untuk dibersihkan.
Aku tersenyum lebar kepada istriku, menjawab kekhawatirannya yang terlintas dimatanya, apakah anak kami sehat. Aku merasa mataku agak berkaca waktu aku bilang ke istriku, "Arumdapta sudah lahir, sayang, sehat, alhamdullilah." Ya nama itulah yang sudah kami tetapkan setelah mendapat bocoran bahwa anak yang dikandung istriku berjenis kelamin perempuan. Satu hal yang selalu disimpan rapat-rapat oleh dokter Tengku selama kami check up.
Setelah agak tenang, dan dokter sudah memulai menjahit jalan lahir tadi, aku berpamitan dengan istriku.
"Sayang, aku mau meng-azan-in anak kita dulu ya..." istriku mengiyakan dengan anggukan lemah. Waktu aku mulai beranjak, baru aku sadar, ternyata banyak sekali darah yang keluar dengan keluarnya Arumdapta.
Di luar kamar bersalin ibu dan bapak mertuaku sudah menunggu, dan aku kabarkan kelahiran Arumdapta. Begitu juga dengan orang tuaku di Samarinda, langsung kutelpon.
Aku masuk ke kamar bayi, dan bertemu suster yang berbeda dengan yang tadi membawa Arum.
"Sus, saya mau mengazanin anak saya Sus". Lalu suster tadi mengambil seorang anak yang putih, bermata sipit seperti cina tapi sedikit gemuk. Sempat kulihat satu lagi bayi disebelahnya yang lebih kecil tapi juga bermata sipit. Kupangku anak itu, aku memang sudah terbiasa menggendong lalu kuciumi pipi dan dahinya, sebelum aku mulai mengazani. Tapi mendadak, masuk suster yang tadi membawa Arum dari ruang bersalin. Dengan muka judes, dia bilang ke perawat satunya, "bukan yang itu". Lalu dia mengambil bayi yang kugendong, menaruhnya di box bayi dan mengambil bayi yang satunya dan meletakannya di gendonganku. Besoknya aku tau bayi pertama yang kucium dan siap ku-azan-in ternyata memang anak orang Cina. Aku sempat terpana, kupandangi Arumdapta Shabira Amma, kuciumi pipi dan dahinya dan melantunkan Azan di telinga kanan dan Qomat di telinga kirinya. Kemudian aku berdoa, meminta kepada Allah agar anakku ini nanti menjadi anak yang sehat, cantik, pintar, shalihah dan berguna bagi keluarga, bangsa dan agamanya.

Tuesday, November 10, 2009

Terima kasih teman


Percakapan panjang melalui dunia maya kemaren, dengan seorang teman lama, menggali banyak memori memori manis. Memori yang sempat terkubur karena keterbatasan otakku yang belum di upgrade.
Betapa aku dulu pernah menjadi pemuda biasa, yang jatuh hati dan patah hati. Yang pernah dibuai oleh kelembutan wanita dan yang pernah dipatahkan oleh kepergiannya.
Betapa aku dulu pernah menjadi pemuda yang berjuang, mengatasi keterbatasan bekal, banyak mengandalkan teman, dan memaksimalkan niat untuk belajar.
Betapa banyak teman-teman yang berjasa membantu. Meminjamkan duit, memberikan tumpangan, meminjamkan dan mengajarkan komputer, berpartner dalam tugas dan bersedia menjadi temanku.
Aku ingin berterima kasih pada mereka semua, atas semua yang pernah mereka berikan, dan yang mereka contohkan, bagaimana cara menyayangi.
Special Thanks to : Adhi, Mimi, Wikan, Afrian, Liana, Lely, Fityan, Dewi Arni, Wisnu, Monie, Yuli dan Monita. Mas Putu, mas Robert dan mbak Nining.

Thursday, November 5, 2009

Good song, good lyric for the girl to be strong

White Horse - Taylor Swift

Say you're sorry,
that face of an angel comes out just when you need it to.
As I paced back and forth all this time
Cause I honestly believed in you

Holding on, the days drag on
Stupid girl, I should have known, I should have known

I'm not a princess, this ain't a fairy tale
I'm not the one you'll sweep off her feet, lead her up the stairwell.
This ain't Hollywood, this is a small town.
I was a dreamer before you went and let me down.
Now it's too late for you and your white horse
to come around.

Baby I was naive, got lost in your eyes
And never really had a chance.
I had so many dreams about you and me
Happy endings, now I know

And there you are on your knees
Begging for forgiveness, Begging for me.
Just like I always wanted but I'm so sorry

Cause I'm not your princess, this ain't a fairy tale
I'm gonna find someone someday who might actually treat me well.
This is a big world, that was a small town.
There in my rear view mirror, disappearing now.
And it's too late for you and your white horse
to catch me now.

Monday, November 2, 2009

Barikin 4

Ada 1 unit kerjaku yang disebut BRK-4. Unit ini memang di set up untuk program Production Logging Tool, program untuk membaca profil dari produksi masing-masing perforasi.
Sebenarnya, banyak yang menganggap gampang unit ini, karena pekerjaannya yang monoton dan resikonya yang dianggap lebih kecil karena variasi alat yang digunakan sangat sedikit. Tidak seperti unit BRK-2 yang memang variasi pekerjaannya sangat beragam. Tapi itu tidak sepenuhnya benar, resiko malah bisa lebih besar karena kekurangwaspadaan itu sendiri. Buktinya, pernah juga terjadi kawat putus atau tool stuck di dalam sumur, yang merupakan suatu mimpi buruk bagi kami Slickliner. Belum lagi resiko karena kita bekerja di atas barge Testing yang mengalirkan aliran sumur ke burner di belakang barge, sehingga apinya sangat besar. Saking besarnya, kalau ibu-ibu yang antre minyak tanah tahu, bisa marah besar, kok gas dibuang-buang begitu saja.
Jadi, aku selalu belajar untuk tidak pernah menyepelekan pekerjaan. Karena setiap sumur mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Dan yang bisa kupelajari dari unit ini sebenarnya, aku bisa belajar mengenai Testing sedikit, secara umum tentunya.
Cuman memang yang agak berat, travelling time-nya itu. Kalau masuk siang, jam 6 harus sudah berangkat dari mess, naik Sea Truck (sejenis speed boat yang agak besar) menuju sumur, kurang lebih 2 jam-an. Sedangkan crew malam baru datang kira-kira jam 8 malam-an, dan kami kembali sampai ke mess kira-kira jam 10-an malam. Kalau lokasinya lebih jauh, bisa jam 11-an malam baru sampai mess.
Tapi, tetap aku berusaha mensyukurinya. Karena lebih banyak waktu buat aku membaca dan belajar lebih banyak lagi.