Thursday, December 3, 2009

Arum dan pingpong

Secara mengejutkan, Arum meminta ijin padaku minggu lalu.
"Pa, boleh nggak Arum ikut latihan pingpong setiap senin pulang sekolah, Pa?" tanyanya.
Walau sempat kaget atas pilihannya, aku bilang "boleh aja".
Dan waktu hari senin kemaren aku jemput dia pulang sekolah, aku kaget, ternyata dia serius mau latihan pingpong. Dari raut mukanya aku tau dia serius, dan dia nggak mau niatnya dihalangi. Akhirnya aku biarkan dia ikut latihan pingpong sampai jam setengah empat sore.
Pulang latihan, aku yakinkan dia,
"Arum boleh ikut latihan pingpong, tapi Arum harus janji kalau Arum akan terus latihan. Karena olahraga itu bagus. Kalau mau, nanti papa belikan bet pingpong buat Arum."
"Iya Pa", cuman itu yang dia ucapkan.
Aku sempat bersyukur ternyata dia berani mengambil pilihan yang agak tidak biasa. Karena selain badannya yang masih mungil untuk ukuran meja pingpong itu sendiri, teman latihannya yang tidak banyak itupun cowok semua. Mungkin konsekwensi dari didikan kami yang selalu membiarkan dia memilih untuk dirinya sendiri, tapi harus mau mengambil resiko pilihannya itu. Dia cuma sempat mengeluh bahwa teman latihannya agak pelit meminjamkan bet pingpong, makanya aku berniat membelikannya pingpong.
Kemarin malam, sesuai janjiku, aku ajak dia membeli bet pingpong. Di toko pertama, dia sudah menjatuhkan pilihan pada sepasang bet yang harganya 88 ribu. Entah mengapa, dia ngotot mau beli sepasang bet itu. Hingga di toko yang kedua dan ketiga, dia tetap ngotot mau beli bet yang pertama itu. Di toko ketiga, aku marah besar, saran kami untuk membeli bet lain yang malah lebih mahal ditolaknya. Aku tidak tau alasannya memilih sepasang bet itu, hingga pilihan yng lain di toko yanglain bahkan tidak diliriknya. Aku jelaskan, dengan marah, bahwa maksud mencari ke toko lain, agar kita bisa mendapatkan harga yang lebih murah untuk barang yang lebih baik.
Saat dia menangis, aku baru sadar, tapi dia sudah terlanjur patah semangat. Hingga walau aku setuju membelikan bet pilihannya pun, dia sudah tidak mau lagi.
Hingga kini aku masih kepikiran. Aku takut dia shock atas kemarahanku. Aku takut dia tidak mau meneruskan latihan pingpong lagi. Aku takut, dia tidak akan berani mengambil tantangan baru seperti latihan pingpong tadi.
Maafin papa sayang.

1 comment:

  1. Duh, Ka... jangan marah-marah dong... :)
    Mudah2an Arum nggak ngambek ya...

    ReplyDelete