Friday, November 13, 2009

21 Mei 2002

21 Mei 2002

Dokter Tengku masuk ke ruang bersalin. Wajahnya yang ramah dan ganteng (menurut istriku), tersenyum kepada aku dan istriku, memberi rasa tenang untuk kami yang baru pertama kali menghadapi kelahiran anak kami. Lalu dia memeriksa sekali lagi bukaan istriku.
"Masih belum...." katanya sambil tersenyum lagi. "Ngeden lagi, Bu." katanya lagi.
Istriku sudah mulai kepayahan, tangannya terus memegang leher kausku. Aku terus menenangkannya dan mendukungnya.
"Sabar sayang, coba lagi ya..." kataku. Dia cuman trus mengerang menahan sakit. Dan tiba-tiba kulihat matanya terpejam dan dia menjadi tenang, pingsan. Aku langsung menepuk-nepuk pipinya, membangunkan. Karena setahuku, itu bukan hal bagus. Setelah beberapa tepukan, dia sadar lagi. Beberapa bidan dan perawat yang ada disitu terus mengecek kondisi istriku. Sementara, alat yang mengecek suara jantung sang bayi, masih terus berbunyi. Aku jadi ikut waspada.
Istriku kembali mengerang, menahan rasa sakit. Dia memang nggak gampang menahan sakit dan sering pingsan.
"Masih belum bu, coba lagi, tahan ya.." bidan yang membantu dokter kembali mengecek.
Setelah beberapa kali mengerang, istriku pingsan lagi. Kembali aku berusaha menyadarkannya, dan berhasil. Dokter Tengku, kulihat dari wajahnya, memutuskan untuk memulai saja proses kelahiran. Mungkin jika istriku terus pingsan, bisa berakibat tidak baik. Dia langsung bersedia dia depan meja bersalin.
"Ayo bu, coba lagi." katanya.
Istriku mencoba mengeden lagi, dan aku mendengar suara gunting memotong jalan lahirnya. Aku tidak melihatnya, tapi dari suaranya aku tau itu suara daging yang digunting. Detik itulah aku hampir nggak kuat, tapi kucoba tahan. Karena sebelum masuk, dokter Tengku sudah memperingatkan.
"Kuat nggak pak lihat darah? Kalau nggak, lebih baik diluar aja. Daripada nanti bapak pingsan, kasian perawatnya, sudah ngurus ibunya, masak harus ngurus orang pingsan juga."
"Kuat dok." aku meyakinkan dokter Tengku. Walau sebenarnya aku belum pernah melihat orang melahirkan, tapi aku tau aku nggak takut lihat darah, dan terutama, aku tidak mau melewatkan kesempatan menemani istriku melahirkan, kesempatan yang nggak semua suami bisa dapatkan. Tapi tetap saja, suara daging digunting itu, seolah mengiris perasaanku. Nggak lama setelah itu, dari suaranya, aku tau kepala anakku mulai keluar. Dan setelah satu dorongan lagi, keluarlah anakku. Waktu diangkat dengan terbalik oleh perawat, saat itulah aku pertama kali melihat anakku. Masih berlumuran darah, kulihat seorang anak yang cantik, tidak terlalu gemuk, tidak juga terlalu kecil. Sempat kuperhatikan matanya yang agak sipit dan jenis kelaminnya perempuan. Lalu perawat itu membawa anakku keluar ruangan bersalin untuk dibersihkan.
Aku tersenyum lebar kepada istriku, menjawab kekhawatirannya yang terlintas dimatanya, apakah anak kami sehat. Aku merasa mataku agak berkaca waktu aku bilang ke istriku, "Arumdapta sudah lahir, sayang, sehat, alhamdullilah." Ya nama itulah yang sudah kami tetapkan setelah mendapat bocoran bahwa anak yang dikandung istriku berjenis kelamin perempuan. Satu hal yang selalu disimpan rapat-rapat oleh dokter Tengku selama kami check up.
Setelah agak tenang, dan dokter sudah memulai menjahit jalan lahir tadi, aku berpamitan dengan istriku.
"Sayang, aku mau meng-azan-in anak kita dulu ya..." istriku mengiyakan dengan anggukan lemah. Waktu aku mulai beranjak, baru aku sadar, ternyata banyak sekali darah yang keluar dengan keluarnya Arumdapta.
Di luar kamar bersalin ibu dan bapak mertuaku sudah menunggu, dan aku kabarkan kelahiran Arumdapta. Begitu juga dengan orang tuaku di Samarinda, langsung kutelpon.
Aku masuk ke kamar bayi, dan bertemu suster yang berbeda dengan yang tadi membawa Arum.
"Sus, saya mau mengazanin anak saya Sus". Lalu suster tadi mengambil seorang anak yang putih, bermata sipit seperti cina tapi sedikit gemuk. Sempat kulihat satu lagi bayi disebelahnya yang lebih kecil tapi juga bermata sipit. Kupangku anak itu, aku memang sudah terbiasa menggendong lalu kuciumi pipi dan dahinya, sebelum aku mulai mengazani. Tapi mendadak, masuk suster yang tadi membawa Arum dari ruang bersalin. Dengan muka judes, dia bilang ke perawat satunya, "bukan yang itu". Lalu dia mengambil bayi yang kugendong, menaruhnya di box bayi dan mengambil bayi yang satunya dan meletakannya di gendonganku. Besoknya aku tau bayi pertama yang kucium dan siap ku-azan-in ternyata memang anak orang Cina. Aku sempat terpana, kupandangi Arumdapta Shabira Amma, kuciumi pipi dan dahinya dan melantunkan Azan di telinga kanan dan Qomat di telinga kirinya. Kemudian aku berdoa, meminta kepada Allah agar anakku ini nanti menjadi anak yang sehat, cantik, pintar, shalihah dan berguna bagi keluarga, bangsa dan agamanya.

No comments:

Post a Comment