Sunday, September 27, 2009

Bandung Yogya - 1998

Bandung 1998,

Waktu aku sampai stasiun Bandung, masih kurang 30 menit dari jadwal. Aman, kupikir.
Setelah berterima kasih kepada Faisal, sahabatku yang kuliah di ITB, aku naik ke kereta api jurusan jogjaku.
Saat aku naik, masyaallah, kereta api sudah penuh. Dengan semangat mahasiswa kere yang berburu transportasi murah, aku paksakan naik. Dengan harapan, masih ada sepetak lantai yang kosong. Karena jika berharap untuk bangku yang kosong, hampir mustahil. Karena hampir semua lantai pun telah terisi. Setelah pepet sana dan pepet sini, akhirnya aku menemukan celah, iya, celah, yang sekedar cukup untuk berdiri. Masih ada harapan di hatiku, penumpang pasti ada yang turun di stasiun berikutnya.
Di celah itu, hampir semua gambaran kelas ekonomi hadir, seperti nonton sinetron satu musim penuh. Dari ibu dengan bayi dan anak kecilnya. Pasangan muda yang mencoba bertahan melalui sulitnya (kelas) ekonomi. Dan penjual kerupuk yang secara ajaib bisa lewat diantara penumpang dengan karung besar berisì dagangannya, dari ujung kereta ke ujung satunya. Bolak-balik lagi.
Baru 2 jam, kakiku sudah pegal. Sedikit memaksa, aku duduk sebisanya. Lelaki muda di depanku, mengalah, lalu berdiri. Seperti sudah diprogram sebelumnya, saat aku duduk, dia berdiri. Dan saat aku berdiri, dia duduk. Tanpa kami ada banyak berkomunikasi.
Untung waktu itu aku hanya membawa tas ransel yang isinya cuma 3 lembar baju dan celana panjang dan 2 bungkus buah arbei dari lembang, buat temenku Liana.
Tapi, astagfirullah, tasku yang warnanya abu-abu kulihat memerah. Tanpa banyak berputar, otakku menyimpulkan, ini pasti arbei yang kepencet.
Apa yang lebih kukhawatirkan? Tasku, bajuku, atau arbeinya. Arbei yang begitu diinginkan Liana, karena waktu dia pulang duluan ke Jogja dengan mimi dan Adhi, dia belum sempet makan arbei. Yang pasti, semua penderitaan ini lengkap sudah.
Ternyata, episode ini belum selesai. Seperti sinetron yang dipanjangkan pak punjabi karena ratingnya tinggi. Perkiraanku salah, sampai kereta memasuki jawa tengah, penumpang tidak berkurang. Jadi sampai matahari mulai mengintip di sela-sela gunung Sumbing, aku masih rutin duduk, jongkok tepatnya dan berdiri.
Padahal, irama tubuhku sudah menuntut untuk sholat subuh. Tapi, aku berdalih, mana mungkin. Berdiri aja susah, gimana mau sholat. Allah pasti ngerti keadaanku, kataku dalam hati, mencoba membenarkan pilihanku.
Tapi, kurang dari 5 detik kemudian. Lelaki muda di sebelahku, berambut cepak, postur badan polisi,lebih tua sedikit dari umurku saat itu, melakukan gerakan yang mengagetkanku.
Urutan gerakan yang sangat kuhapal, tayamum dan kemudian sholat, dengan berdiri. Di samping pintu kereta yang tertutup.
Seperti Allah menyentil telingaku saat itu. Dia mungkin bilang "orang yang kau remehkan akhlaknya, ternyata lebih baik dari kamu".
Langsung aku pun bertayamum, dan sholat subuh, dengan berdiri.
Sesampainya di Jogja, aku me-reset kesimpulanku. Ini bukanlah 12 jam perjalananku yang terburuk. Tapi penempaan diriku, untuk tidak sembrono menilai orang dan tetap teguh beribadah, sesulit apapun keadaannya.

No comments:

Post a Comment